Dzikir Cinta Rama dan Sinta


Dzikir Cinta Rama dan Sinta
Untuk Rama, cahayaku
Ribuan malam kulalui dengan kesedihan
Pedih, namun hati ini tetap bertahan
Andai engkau, Rama
Mampu mendengar harapanku yang takkan pudar
Memberikan setetes kesegaran dalam pelukan
“BRAAK!!”
Sebuah penghapus mendarat di meja Sinta. Sigap ia menegakkan punggung.
“Ckckck..”, Pak Didik geleng kepala.”Sinta..Sinta. Bikin surat cinta lagi?”
Semua anak tertawa. Keras.
“E..enggak kok pak, saya sedang mencatat yang dipapan tulis itu”, telunjuknya mengarah ke bidang putih di depan sana.
“Masih berbohong juga ?”, nadanya menyentak. ”Apa kamu tidak sadar kalau itu catatan kemarin ? Ha?”
Sinta mulai kebingungan mencari alibi lain. Wajahnya seketika pucat pasi.
“Sudah-sudah. Sekarang kamu berdiri di depan!”
Tanpa beban, Sinta pun melangkah. Berharap waktu dapat mempercepat laju larinya.
“Baik, kita lanjutkan pelajarannya”, ujar beliau lagi.
***
Kantin, tempat yang paling disenangi semua murid. Tak terkecuali Sinta. Di tempat inilah ia bisa bertemu atau sekedar melihat Rama, pujaan hatinya. Seperti biasa, ia duduk di bangku paling pojok dekat stand bakso yang selalu disinggahi Rama. Tapi nampaknya hari ini ada yang sedikit berbeda.
“Hei Sin”, Fara duduk tepat di depannya.
“Aduh . Jangan duduk disitu. Kamu menutup pandanganku tau !!”, ia mulai gusar.
“Menunggu Rama?”
“Menurut kamu?”, masih ketus juga.
“Haha. Sinta … Sinta . Sampai kapan kamu mau menunggu dia ? Kamu seharusnya ngomong, kalau kamu itu suka sama dia. Buat apa puisi kamu yang segudang itu , kalau yang dibikinkan puisi saja tidak tahu ?”
“Huff. Kamu jangan bercanda Far. Rama itu bukan cowok biasa. Dia itu bintangnya sekolah ini”
“Hah? Bintang? Bintang kamu bilang? “,Fara menghela nafas panjang.”Sinta..Sinta.. Sadar donk ! Rama itu juga manusia. Sama-sama makan nasi,sama-sama butuh udara untuk bernafas. Ayolah neng, jangan psimis seperti itu. Siapa tau dia selama ini menyimpan perasaannya yang sama ke kamu”
“Itu makin tidak mungkin”, wajah Sinta makin lesu.
“Kenapa tidak mungkin? Kalian sudah hampir 12 tahun satu sekolah. Dia itu teman kamu dari TK Sinta”
“Tapi , kami kan tidak akrab”
“Aduh . Ya di akrabkan donk. Apa susahnya? Kamu mau selamanya cuma jadi penggemar rahasianya?”
“Tidak Far, tapi kan..”, kalimatnya menggantung.
“Oh iya Sin, aku lupa bilang, hari ini Rama ada pertandingan basket di sekolah sebelah. Jadi tidak ada gunanya kamu menunggu disini”
“Kenpa tidak bilang dari tadi ?”, nadanya meninggi. Ia berlari meninggalkan kantin dan juga Fara.
“Lhoh Sin. Sinta!!! Mau kemana?”, Fara mencoba mengejar.
***
Setelah selesai sholat dhuha, Sinta merenung di tangga masjid sambil menikmati semilir angin yang berhembus menerpa jilbabnya. Sejuk dan kering. Ia kemudian teringat akan percakapannya dengan Fara barusan. ‘Kalau dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan Fara’, batinnya. ‘Tapi, bagaimana kalau nanti Rama menolak mentah-mentah perasaanku?’. Batin Sinta terus bergejolak. Bimbang dan gundah ia rasakan. Semenit, dua menit. Dan BUFFF! Perasaannya serasa meledak bak terpasang bom rakitan Osama bin Laden.
Ia melangkah menuruni tangga, menuju etalase bening yang berada di samping mimbar. Tangan mungilnya meraih sebuah kitab, berharap akan ada keajaiban menerangi jalannya. Ayat-ayat suci terlantun dari bibirnya yang memucat. Tanpa ia sadari, sekelilingnya menikmati alunan merdu yang menenangkan itu.
Sepasang mata mengintip di balik jendela. Tubuhnya yang lelah setelah beraktivitas, rasanya bugar kembali mendengar suara Al-Quran dari dalam masjid. Ia lalu mengetahui, itu gadis yang sama dengan yang biasa ia dengarkan lantunan asma’-nya. Senyumnya mengembang, tubuhnya merebah di tembok sambil menikmati setiap alunan suara gadis itu. Tak terasa, matanya mulai terpejam. Dan ia sudah memasuki alam bawah sadarnya.
***
            Sinta terbelalak melihat seorang lelaki yang tengah tertidur di serambi masjid. Di pipinya, ia temui bening titik-titik air yang menyegarkan. Sepertinya, lelaki itu baru saja berwudhu.
“Siapa kamu?”, lelaki itu terbangun. Sontak Sinta kaget dan takut.
“Maaf”, Sinta tertunduk.
Keduanya diam beberapa detik. Mereka mulai membuka memori dan menelusuri siapakah yang ada di depan mereka.
“Ah… Sudahlah”,
Masih saja Sinta menunduk. Malu setengah takut.
“Hei, jangan takut. Aku tadi hanya kaget saja”
Tanpa ia mampu menutupi, senyumnya merekah.
“Suara kamu indah, kamu juga rajin sholat dhuha. Kamu anak kiyai ya?”
“Apakah aku terlihat sealim itu?”
Mereka tertawa kecil.
“Hmm, karena aku sudah membuatmu takut, bagaimana kalau sekarang aku traktir bakso?”
“Boleh”, mereka berdua tersenyum.
***
“Jadi , kita ini satu sekolah sejak TK?”, nada bicaranya penuh tanya.”Tapi kok aku tidak tahu kalau punya teman seistimewa kamu?”
“Sudahlah, jangan melebih-melebihkan”, Sinta tersipu malu.
“Hehehe”, Rama nyengir.
Tiba-tiba…
“Hayoo. Kalian sedang apa disini?”, suara Fara menggelegar. Semua penghuni kantin sontak mengarahkan mata ke meja itu.
“Sssst!”, telunjuk Rama diletakkan tepat di bibirnya yang mengatup.
“Iya…Iya…Aku diam”, Fara tertawa lepas. Dalam pikirnya, ini kesempatan yang baik untuk mendekatkan Rama, dan sahabatnya, Sinta.
“Apaan sih kamu Far”, Sinta makin tersipu.
“Iya nih kamu Far, datang-datang sudah bikin heboh”, Rama menimpali.
“Awas saja kalau sampai kalian jadian tidak bilang-bilang aku”
“Tenang saja, kalau perlu, aku akan traktir kamu 10 mangkuk!”, kata Rama mantap.
“Wah, jadi sudah ada rencana jadian nih?”
Ganti Rama yang tersipu. Sinta dan Rama diam tak berucap. Dalam hati, mereka bertanya-tanya tentang persaaan satu sama lain. Oh, indahnya cinta masa SMA.
***
“Kamu suka tempat ini?”
“Iya”, senyumnya terbingkai dari bibirnya yang merah
“Sinta, apa kamu juga merasakan hal yang sama padaku?”
Mata Sinta berubah melebar. Kaget.
“Apa aku salah kalau aku suka kamu? Dan percayakah kamu, aku jatuh cinta padamu sejak pertama kita berbicara di masjid”
Sinta lagi-lagi hanya tersenyum.
“Apa ada yang lucu Sin? Ayolah, aku tidak sedang bercanda”, kalimatnya memelas.
“Rama”, Sinta tersenyum lagi. Kali ini ia menatap tepat mata Rama.”Bila memang kamu sedang menungguku untuk menjalani kehidupan menuju Ridha-Nya, maka bersabarlah dengan keindahannya. Demi Allah, aku tidak datang karena ketampanan, kepintaran ataupun kekayaanmu, tapi Allahlah yang menggerakkanku untuk datang kepadamu. Janganlah tergesa-gesa untuk mengungkapkan cinta sebelum Allah mengizinkan. Karena belum tentu yang kau cintai itu adalah yang terbaik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Simpanlah dulu segala bentuk ungkapan cinta dalam hati rapat-rapat, niscaya Allah akan menjawabnya dengan lebih indah”
Rama terdiam. Hatinya makin mantap memilih Sinta.
***

“Far, Sinta mana?”
“Dia di dalam Ram. Hiks”, airmata Fara tak mampu lagi dibendung
Langkah Rama terhenti melihat tubuh Sinta yang terkulai lemah. Selang infus yang melekat pada pergelangan tangannya cukup mengungkapan bahwa ia tersiksa. Andai bisa, Rama pasti akan menggantikan mahkota hatinya itu. Ia kemudian duduk di kursi biru yang disediakan rumah sakit. Kepedihan hati Rama terlukis jelas dari wajahnya yang kian mengusut. Bagaimana tidak? Hari ini setahun mereka jadian. Harusnya mereka sedang nonton di bioskop atau setidaknya jalan-jalan berkeliling kota.
“Sinta”, suara Rama mendesir lirih. Helaan nafasnya terdengar begitu keras. “Cepat sembuh ya sayang. Biar kita bisa jalan-jalan lagi”. Ia mencoba tersenyum meski hatinya menangis. Tangannya coba membelai kening Sinta, tapi ia urungkan niatnya itu. Ia ingat, Sinta pernah berpesan bila ada laki-laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan, haram hukumnya saling menyentuh atau berpegangan. Rama mulai melihat kilas balik di angannya. Senyum dan tawa lepas Sinta, matanya yang selalu sayu, dan juga tingkah manja Sinta saat ia goda. Semua tentang Sinta seperti terekam kembali dalam ingatannya. Akhirnya ia tak mampu menahan sesak dalam dadanya. Air hangat menetes dari kelopak matanya yang sayu.
Pelan namun pasti, nafas Sinta tersengal-sengal meskipun ada tabung biru di sebelah ranjangnya. Rama berteriak keras, meminta bantuan siapa saja yang bisa. Waktu terus berjalan tanpa mampu ia hentikan. Dan Rama berteriak, mengerang, mengutuk Tuhan dan dirinya sendiri. Meski ia tau, semua itu sia-sia.
***
Rama terdiam di depan jendela kamarnya. Matanya tertuju pada kebun mawar di depan rumahnya. Hanya itu yang ia lakukan selepas kepergian Sinta. Baginya, hanya mawar yang mengerti isi hatinya. Karena mawar, saksi bisu perjalanan cinta mereka.
“TOKK!!TOKK!!TOKK!!”, pintu kamar Rama bergetar.
“Ram, ini Fara. Tidak apa-apa kalau kamu masih belum bisa bicara sama aku. Tapi mungkin surat ini bisa membuat kamu mengerti”

Kemudian, Fara memasukkan kertas itu melalui lubang di bawah pintu kamar Rama. Awalnya Rama tak menggubris, tapi seberkas cahaya yang melewati jendelanya, menyisakan pantulan warna dari kertas itu. Merah jambu, warna perempuan. Sinta. Segera, Rama menyambar kertas itu.
Rama, suatu hari saat kamu baca surat ini mungkin aku sudah tidak ada di dekatmu. Karena aku, hanyalah manusia yang tidak punya percaya diri. Dengan ungkapan hati yang terbingkai dalam secarik kertas lusuh ini, ingin aku nyatakan bahwa aku memilihmu meski aku tak ditakdirkan untuk memilih.Sekali ini saja, dengarkan permintaan hatiku. Tersenyumlah, Rama. Tersenyumlah untukku di angkasa.
Sinta , yang menyayangimu
Air mata Rama semakin deras keluar. Ungkapan hati Sinta yang di ambil Fara dari buku hariannya itu, membuat Rama semakin menyesal karena tak menyadari keberadaan Sinta selama ini. Rama mengerti, Sinta ingin ia tetap tegar dan menatap hidup ini dengan lebih baik. Tapi, apalah daya raganya, Rama yang angkuh dan egois berubah menjadi melankolis dan penuh kesedihan. Matanya yang sayu kian menyiratkan rasa pedih dalam hatinya. Semoga, kelak ia akan temukan pelita hati sebening Sinta.
Waktu memang tak ‘kan mampu kuhentikan
Tapi yakinlah cahayaku,
Kasih ini tak kan terbagi
Karena aku yang memilihmu
Jikalau ada embun pagi yang kan gantikan hari ini
Maka, biarlah ia tetap jadi yang kedua
Yang menyayangimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban di Pasar Senen