Penantianku



 [2016]
                Rintik hujan membasahi jendela kedai teh di pinggir kota denpasar sore itu. Pohon – pohon menari disapa angin yang bertiup. Aku dapat merasakannya. Ketidaktahuan untuk melakukan sesuatu. Aku sangat tahu. Aku tahu rasanya berdiri tegar namun sebenarnya membutuhkan lebih dari sekedar dukungan. Sungguh, aku membutuhkan bahu untuk bersandar.

                KRINGGG

                Suara lonceng di pintu kaca bercat putih itu membawaku kembali. Sesosok pemuda tinggi, bermata sipit namun bukan keturunan cina memasuki kedai mungil ini. Ia berkulit putih dengan seragam biru muda dibalut jaket kulit hitam lengkap dengan topi dan tas jinjing hitam ditambah sepatu kulit bertalinya yang sedikit basah terkena hujan. Ia berjalan ke arahku sambil melempar senyum tipis. Darinya aku bisa membayangkan ada desahan lega bersama dengan senyum itu. Duduklah ia di depanku sambil melepas topi ‘navy’ bergaris emas kebanggaannya.

                “Sudah lama nunggu?”, ia tersenyum lagi. Matanya tinggal segaris. Masih sama seperti yang ada dalam bayanganku.
                “Belum. Mungkin baru satu jam”, wajahnya mengkerut

                “Aaah Diva, I’m sorry. Temanku ada urusan jadi aku menggantikannya setelah jadwalku selesai.” Ia menunjukkan wajah sedih yang tidak dibuat-buat. Wajahnya tertunduk. “Aku benar-benar menyesal membuatmu selalu menunggu lama”. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.

                “Hahaha, It’s okay. Aku cuma bercanda. Aku baru datang sepuluh menit lalu kok”

                “Sungguh?”, dahinya mengernyit. Aku menegakkan dua jari kananku tanda swear. Tubuhnya terhempas di kursi kayu yang terlalu kecil untuk bahu lebarnya. “Haaah untunglah. Jadi bagaimana kabarmu sekarang?”, cangkir teh yang telah dingin sedari tadi ia angkat perlahan. Bagaimana kabarku? Didalam anganku aku berpikir. Menerawang didalamnya. Apakah aku harus bilang aku baik baik saja? Aku tahu dia tahu. Cangkir teh itu bukan disajikan sepuluh menit yang lalu. Sama seperti senyumku ini, palsu.

***
                Jalanan ini terasa begitu sepi, padahal sedang ramai turis berkunjung. Suara lalu lalang motor yang nekat menyerobot barisan mobil pun tak masuk telinga. Hanya kehampaan yang terasa. Sepi, benar-benar sepi. Tiba-tiba angin berhembus lebih kencang. Di kiri, tampak pantai Kuta yang dulu pernah membuatku tergila-gila. Dan sekarang padat disesaki manusia negeri yang belum pernah aku jelajahi. Penuh dengan penyimpangan adat ketimuran yang kami pegang teguh. Ya begitulah hidup. Cepat atau lambat, ia akan membuatmu kecewa.

                TIIIN TIIIN

Aku menoleh. Sebuah mobil berwarna putih berada 45 derajat dari tubuhku. Aku mencoba mengenalinya. Mas Zian. Aku setengah berlari dan kaca kiri mobil terbuka.
“Ayo pulang” seulas senyum ku lempar untuk menjawabnya. 

Mobil ini menjadi semakin dingin karena tak ada sepatah katapun yang kami lontarkan. Seperti biasa. Tidak ada hal yang perlu dibicarakan. Tiba-tiba tangannya menjulur di depanku.

Seat belt. Di depan ada polisi”

“Oh” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Dan mobil ini melaju dengan dingin yang tak pernah mencair.

***
Aku berjalan sendiri menyusuri parkir kantor yang masih penuh kendaraan. Aku lelah, ingin cepat pulang. Tiba-tiba ada tangan yang menggenggam. Wajah itu tersenyum hangat. Seperti biasanya. Dan aku, seperti biasanya, masih selalu terkejut tentang ini.

“Waduh, pengantin baru masih anget aja nih”, candaan itu muncul lagi. Aku sudah bosan mendengarnya. Tapi aku bisa apa?

“Hahaha pengantin baru apa sih Bu, udah setahun loh kita nikah”

“Iya sih, tapi masih mesra aja kayak baru nikah kemaren. Tapi sayang…..”

“Sayang kenapa, Bu?”

“Debaynya mana?”

Wajahnya seketika sedikit berpaling. “Ibu bisa aja. Yah doakan saja segera diberi kepercayaan untuk mengasuh titipan Tuhan yang itu nggih Bu” Si ibu cuma senyum – senyum. “Iya kan, sayang?”

“Ah iya Bu. Semoga kami bisa segera…”

“Saya duluan ya dek Diva, dek Zian”, katanya sambil melambai pada kami. 

“Ayo ke mobil”

Nggih”. Genggamannya tidak terlepas, tapi aku tau tidak ada kasih saying didalamnya.

***
[2015]
“Saya serius ingin membina rumah tangga dengan dek Diva, Pak” katanya sambil mantap menatap kedua mata abah saya.

“Kalo memang sudah mantap ya segerakan saja. Daripada jadi perbincangan tetangga. Adek gimana? Sudah srek juga?”

“InsyaAllah, Bah”, jawabku lirih

“Alhamdulillah”, serempak. Dua keluarga yang kini menjadi satu itu bersuara.

***
Masih kuingat lembut genggamanannya

Aku merasakan kehangatan didadaku saat kulihat senyum di bibirnya

Mata itu….

Mengisyaratkan kesetiaan yang tak pernah terucap

Tersenyum lagi

Aku sungguh tak mampu berpaling dari yang satu ini

Aku tak sanggup berpaling, sayangku
Karena saat bibir ini berkata iya, maka kamu lah selamanya

***
“Dek” ia mendekat padaku yang sedang bercermin pada lemari kaca besar.

“Iya mas” aku berusaha menyambutnya

“Aku mau ngomong sesuatu”

“Iya mas, ngomong aja. Kan sekarang kita sudah suami istri, harus bisa saling terbuka seperti janji kita dulu, iya kan?” aku tersenyum.

Ia membalas. Ia seakan memaksaku duduk di pinggir spring bed king size yang dilapisi bed cover merah marun, warna favoritku.

“Sini duduk”, aku pun menurut.

“Sebelumnya, aku ingin meminta maaf.” Aku sedikit tersontak. Kenapa kata maaf yang terlontar pertama kali? Apa ia mau mengakui kesalahannya di masa lalu? Aku masih mencoba mendengarkan.

“Maaf aku telah menghalangi kebahagiaanmu yang hampir sempurna bersama sahabatmu itu”, ia mencoba membelai rambutku. “Hffff”, ia mendesah. “Aku merasa kamu orang yang tepat untuk menjaga rahasia ini” ia terdiam. Lama ia tertunduk sambil memegang lemas kedua bahuku. Firasatku semakin tidak enak. Pikiranku pun melayang, terlalu jauh. “Aku….gay”

Rasanya tulangku rontok waktu itu. Mataku mendelik, berair. Kaget bercampur sedih, marah dan rasa tidak terima, bercampur menjadi satu. Ia menangis. Entah menangisi dosanya atau menangis mengasihaniku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin diam sejak saat itu.

***

[2014]
Malam ini begitu indah ditemani beribu lampion dan seseorang yang spesial. Setidaknya untukku, ini lebih dari cukup. Pemuda itu tersenyum dengan mata tinggal segaris. Senyum yang selalu aku rindukan.

“Ayo naik bianglala”

“Sungguh?” setengah berteriak aku, kegirangan. “Ayoo”. Aku tertawa sambil berlari. Beban di pundakku benar-benar lenyap.

“Wow, bagus banget bi” aku terkagum-kagum melihat kelap-kelip lampu yang berjajar rapi, jauh disana. Yang didepanku hanya terus tersenyum dan terus memandang.
“Apasih kamu. Gitu banget lihatnya”, aku cekikikan

“Div” suaranya melembut
“Iya Arbi” aku menatap kedua mata kecilnya dengan senyum yang tak mampu terlepas.

“Tunggu aku sebentar lagi. Aku akan jadi yang pertama menemui abah buat meminangmu” wajahnya yang ceria berubah serius

Aku tersenyum “Aku siap nunggu kamu jadi yang pertama, Bi”

***
[2017]
Sebuah kotak merah marun sejengkal bertengger diatas meja kerjaku. Perhiasan. Apa ini dari mas Zian? Aku membukanya perlahan. Sebuah kalung emas putih dengan liontin permata seukuran jempol tangan. Tapi fokusku sekejap teralihkan oleh sebuah kerta kecil dilipat dua yang terlahir bersama kalung permata itu.

Maukah kamu menunggu sedikit lebih lama?

Seketika air mataku tak dapat dibendung. Deras mengalir. Semua penantianku, semua doaku, akhirnya ada jawabnya. 

Aku akan menunggu

Meski harus seribu tahun

Karena senyummu, tak sanggup aku berpaling

Karena Tuhan berkata, kamulah orangnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban di Pasar Senen