NINA


Ibu…
Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dingin udara pagi terasa menerobos selimut kumuh tipis yang telah banyak di makan tikus ini. Gelap. Hanya itu yang dapat kulihat. Tubuhku masih lelah bekas peluh semalam. Terbayang kembali wajah bude Sarah yang merah di lahap amarah. 

Cepat-cepat aku bangun, mengingat ini sudah hampir jam 3 pagi. Segera aku lipat penghangat tubuh peninggalan ibu yang telah rapuh di makan usia. Satu persatu anak tangga loteng ini aku turuni. Bunyi decit kayu yang menua harus aku redam sebisa mungkin agar pakde dan bude tidak terbangun.
                Kuambil air wudhu dari sumur belakang rumah. Selesai shalat, aku segera ke dapur untuk mencuci piring dan memasak. Tepat pukul enam, semua sudah beres. Lega sekali rasanya, setidaknya aku yakin hari ini bisa sekolah. Bergegas aku menyiapkan peralatan untuk ke kali. Sabun, sikat, odol dan juga jarit batikku. Bukannya bude tidak punya kamar mandi pribadi, tapi katanya aku harus sadar diri bahwa aku hanya benalu disini.
***
                Mataku nanar melihat makanan yang kumasak tadi pagi tersaji rapi di meja makan. Ingin sekali aku mencicipinya walau hanya sesuap saja.
“Budhe, nina berangkat dulu”, pamitku pada beliau sambil mencium tangannya
“Iya”, jawabnya singkat
Aku memegangi perutku yang mulai bersiul tak karuan
“Sedang apa kamu disitu? Tidak jadi sekolah?”
“Jadi bude, tapi …”
“Tapi apa? Ha?”, bentaknya
Aku kembali terdiam. Menunduk. Berat sekali aku merasakan langkahku pagi ini. Tadi malam, aku sudah tak dapat jatah makan karena masih ada debu di meja kerja bude. Mungkin memang nasibku sedang buruk. Dengan gontai aku berjalan menyusuri jalan terjal ini. Debu yang yang diciptakan dari sepeda ataupun dokar yang lewat semakin membuat lusuh seragamku satu-satunya.
“Nin”. Terdengar suara setengah berteriak dari arah belakang. Sepertinya, aku kenal suara ini. Dengan berat kutengokkan kepalaku ke belakang.
“Bang Andi?”, sedikit bingung aku dengan apa maunya orang ini
“Ini abang bawakan nasi putih dari rumah. Maaf tadi abang tidak sempat ambilkan lauk pauk untukmu”, katanya ramah
“Terimakasih , Bang. Ini sudah lebih dari cukup kok”
Senyumnya merekah,”Abang berangkat dulu ya. Hati-hati kamu di jalan”. Hanya kubalas dengan senyum keramahan ini. Ia berjalan berlawanan arah dariku, tapi tiba-tiba ia berbalik “Jangan bikin onar lagi ya”, katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Lagi-lagi hanya senyum yang aku berikan. Lalu aku duduk di atas tugu batas halaman rumah pak Mardi sambil menikmati lezatnya nasi putih pemberian bang Andi. Nasi yang aku tanak setiap pagi, tapi jarang sekali aku nikmati.
***
“Ninaaaaa”, suara Fara membuyarkan lamunanku. Tangannya melambai sembari ia berlari ke arahku.
“Ada apa Far?”
“Ustadz Haqqi pengen ketemu kamu”
“Kok tumben banget?”
Fara hanya menaikkan bahunya. “Makasih ya”, aku melewati Fara begitu saja lalu kembali berjalan.
“Eh nin, tungguin aku dong”. Aku menoleh,”kenapa lagi?”
“Cerita dong”, katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Cerita apa?”
“Kamu ada urusan apa sama Ustadz Haqqi?”
“Ngga ada”
“Alah, crita aja deh. Aku bisa jaga rahasia kok”, lagi-lagi sebelah matanya berkedip. Sempat kukira ia punya kelainan di mata. Tapi memang begitulah Fara, ia takkan menyerah sampai mendapat apa yang dia mau.
“Nina”, terdengar suara berat memanggilku
“Sedang apa kamu disini Fara? Bukankah ustadz tadi menyuruhmu memanggil nina? Kok malah kamu ajak dia ngobrol disini?”
“E.. eh anu.. anu ust”
“Anunya siapa?”
Fara tertunduk. “Nina, ikut saya ke kantor sekarang”
“Na’am ust”
***
                Aku dipersilahkan duduk oleh ustadz Haqqi, sesaat setelahnya terdengar pintu terbuka. “Assalmualaikum ustadz”
“Wa’alaikumussalam”, ustadz Haqqi tersenyum.”Silahkan masuk ustadzah, pas sekali ini ada nina”
Ustadzah baru yang kuketahui bernama Rahma itu menutup pintu lalu berjalan ke arahku. Jilbab ungunya sedikit berkibar terkena kipas angin. Muda, anggun dan berwibawa. Beliau tersenyum menatapku, tajam. Tangan lembutnya mengelus lembut jilbabku yang sudah tidak putih lagi. “ Bisa tinggalkan kami sekarang ust?”
“Oh tentu”, ustadz Haqqi pun beranjak dari kursinya. Semakin terasa dingin sekali ruangan ini.Dalam hati aku bertanya-tanya, ada apa gerangan yang akan disampaikan ustadzah Rahma padaku?
“Santai dulu nin. Jangan tegang begitu”
“i..iya ust”
“Langsung saja ya nin, saya ingin bertemu dengan kamu karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan”
“A..apa itu ust?”
Beliau kemudian menyodorkan sebuah foto lusuh, “Kamu pernah melihat foto ini?”
“Darimana ustadzah mendapat foto itu?”
“Apa ini kamu?”, tanyanya penuh selidik
Aku hanya mengangguk.
“Alhamdulillah”, punggung ustadzah kembali menempel pada kursi tua di belakangnya.
“Memangnya kenapa ust?”
Ustadzah kemudian mengambil satu foto lagi dari tasnya. Foto yang tak jauh lusuhnya dari yang pertama. “kalau yang ini?”
Serasa dunia akan runtuh kala itu. Teringat aku dengan foto masa kecilku, foto pernikahan orangtuaku dan sebuah foto yang sama dengan yang dimiliki ustadzah Rahma. Foto ibuku.
 “Nin..nina”, sebelah tangan ustadzah Rahma melambai-lambai
Aku masih belum sanggup berbicara. Orang itu, orang dalam foto itu. Ibu yang aku rindukan kehadirannya.
“Minum ini dulu nin”, ustadzah Rahma memberiku segelas air mineral dan aku masih tetap termenung. Mataku secara refleks memandang mata ustadzah Rahma. Nanar. Bagaimana beliau bisa memilikinya?
“Bagaima..” aku menghela napas
“Tenangkan dirimu dulu nin”
Setelah beberapa kali menarik napas panjang, aku rasa aku siap mendengar apapun yang akan diceritakan ustadzah Rahma
“Apa itu tadi foto ibumu?”
“Apa beliau masih hidup ust?”
“Kamu masih ingin bertemu dengannya?”
“Tentu saja”, nadaku meninggi. Aku sedikit terbawa emosi. Mana ada anak yang tak ingin bertemu dengan ibu kandungnya?
“Saya bisa bantu kamu”
Aku terbelalak,”Benarkah ust?”
“Temui saya besok pagi jam 4, saya tunggu kamu di depan rumah Pak Mardi. Ingat nin! Ini rahasia kita”
“Kenapa harus dirahasiakan ust?”
“Apa kamu tidak mikir, kalau sampai ada yang tau lalu bilang ke budemu, apa kamu boleh berangkat?”
Aku tertunduk.”Baiklah kalau begitu ust. Tapi, dimana ibu saya tinggal ust? Dan bagaimana ustadzah bisa mendapat ..”
“sssttt”, telunjuknya mengatup di bibir. “Saya ceritakan besok di perjalanan. Ingat! Ini rahasia!”
***
Selesai membungkus bajuku, aku bergegas mengendap keluar. Menuruni tangga tua rumah bude Sarah. Tiba-tiba
“mmppp..mppp”, ada tangan yang mendekapku dari belakang
“Ssstttt”
Aku pun diam. Orang itu menarikku kembali ke kamar.
“Bang Andi?”
“ssssttt”
“Kenapa bang Andi sudah bangun jam segini?”, kataku seperti orang berbisik
“Kamu mau kemana?”
“Nina mau cari mama”
“Kemana nin?”
“Nina juga ngga tau”
“Sudahlah, tinggallah saja di rumah. Dari pada nanti mama tau, kamu bisa dapat hukuman berat”
“Nina mau ketemu mama bang”
“Nin, percaya sama abang. Tetaplah disini”, matanya penuh harap
“Tidak bang”
Bang andi memelukku secara tiba-tiba
“Abang sayang kamu. Abang ngga mau kamu kenapa-kenapa”
“Nina bisa jaga diri bang. Nina harus pergi”
Bang Andi melepasku. Pasrah.
“Semoga berhasil nin”
***
                Pengap sekali udara dalam ruangan itu. Ustadzah menjemputku dengan menggunakan mobil box dengan dua teman lelakinya. Aku ditempatkan di belakang karena memang sudah tidak muat di depan.
Baru saja aku terbangun dari mimpi, sayup-sayup kudengar suara ustadzah dan kawan-kawannya sedang bercakap.
“Kita akan segera kaya, hahaha”, kata salah satu lelaki itu
“Diam bodoh! Kalau sampai dia dengar bisa berabe kita”
“Alah , mana mungkin? tadi aku sudah menambahkan obat tidur di minumannya. Dia pasti sedang bermimpi bertemu ibunya. Hahahahaha”
Jadi ? Untung saja belum aku minum
“Tapi kalau suaramu seperti buto begitu, bisa-bisa dia bangun”
“Sudahlah kalian berdua, diaaaam! Biarkan aku fokus menyetir”
 mengintip lewat kaca hitam pembatas bagian depan dan belakang mobil yang ditutup dengan kain. Mungkin agar aku tak tahu ada kaca disana.
“Ahhhh”, ustadzah Rahma melepas jilbabnya. Bukan main kagetku melihat ini. Belum selesai kagetku, tiba-tiba, “Ambilkan aku bir”.”Cepat! Panas sekali hari ini. Ditambah dengan jilbab bau ini”, beliau membuangnya.
Apa-apaan ini? Siapa dia sebenarnya?
“Lagakmu sudah seperti bos saja Rin”, kata lelaki disebelahnya
“Memang sebentar lagi aku akan jadi bos. Bos cantik Rina. Hahaha”
“Bisanya kamu ini cuma mimpi. Kerjamu saja belum ada hasilnya”
“Kalau belum berhasil, kenapa cecunguk itu ada dengan kita sekarang. Ha?”
“Ini masih awal Rin, jalan kita masih panjang”
Aku ingin berteriak. Tapi mungkin itu bukan jalan yang benar. Bang Andi, kenapa aku tak mendengarmu? Nina juga sayang kamu
***
“Ust…Ust…”, kataku sambil menggedor besi yang mengurungku
“Iya nina?”, sahutnya dari sana
“Nina pengen pipis”
Terdengar ada suara-suara yang sedang berbisik
“Tunggu sebentar lagi ya”
“Iya ust”
Aku menemukan celah di sisi besi box ini. Hanya terlihat sekelebat memang, mungkin mobil ini melaju terlalu kencang
“Ust.. Nina udah ngga tahan”
“Ahhh, bawel sekali anak ini”, kata salah seorang lelaki
Terdengar suara tamparan setelahnya
“Iya nin, sabar ya nak”
***
 Seberkas cahaya muncul. Silau. Bergegas aku mendekat ke pintu. Wanita yang bernama Rina itu membantuku
“Jilbab ustadzah kemana?”
“Ahh, ustadzah sedang gerah nin”
“Itu aurat ust”
“Banyak bicara anak ini. PLAKK!”, lelaki yang berkumis tebal menamparku dengan keras
Rina lalu mendorongnya dan mereka bertengkar agak jauh dariku. Aku hanya bisa terisak. Sesekali lelaki itu menunjuk ke arahku. Lalu Rina berjalan ke arahku
“Sekarang kamu sudah tau kan? Saya bukan orang baik. Sekarang kamu mau apa? Teriak? Silahkan? Ini di tengah hutan”
“Aku cuma mau pipis”, lelaki yang tidak menamparku tertawa kecil. Jakunnya terlihat besar karena ia begitu kurus. Wajahnya bersih, rambutnya rapi. Berbeda sekali dengan lelaki berkumis tadi.
Rina mengantarku menuju sebuah pohon besar, tempatnya agak menjorok dari tempat tadi. Ia berdiri di arah balik tempatku berdiri. Aku mengendap meninggalkannya, lalu berlari secepat yang aku bisa.
“Dia kabuuur!”, rina berteriak sambil menunjukku di kejauhan. Aku terus berlari.
“BUUUK! AUUUU”
“Hahaha, mau kemana kamu cecunguk kecil”, kata lelaki berkumis
Aku tetap berusaha lari walaupun sedikit ngesot di tanah
“Mau lari kemana kamu, hahaha “
Aku menggenggam tanah di kedua tanganku lalu kulemparkan ke wajah mereka. Mereka berteriak kesakitan. AKu berlari lagi dengan sisa kekuatan yang aku miliki
“Hei, jangan kabur!!”, mereka masih berusaha mengejarku dengan mengucek mata mereka
Aku terhenti. Buntu. Hanya jurang yang curam
“Hahaha, mau kemana kamu sekarang?”, kata Rina
“Jangan pernah coba lari dari kami”
Lelaki yang pendiam itu meraih tanganku lalu mengikatnya. Tiba-tiba terdengar suara sirine polisi. Kurasakan tangan lelaki itu dingin. Dia lalu menatap teman-temannya, begitu juga aku. Langkahnya perlahan mundur dan ia berteriak. Keras. Kurasakan tubuhku melayang. Aku pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Beberapa saat setelahnya kurasakan sesuatu membentur kepalaku. Dan hitam.
***
Mataku masih berat untuk membuka. Tapi isak tangis yang menderu itu seakan memerintahkanku untuk membuka mata.
“Nina”, seseorang memeluk tubuhku dengan erat. Aku hampir tak bisa bernafas.
“Sayang, kamu masih hidup nak? Maafkan mama nak”, tangisnya semakin menderu.
Wanita itu, masih sama seperti dalam foto yang selalu aku bawa tidur. Meskipun tatanan rambutnya sudah berbeda, tapi aku masih bisa mengenalinya.
“mmm..ma.mma..”
“Iya nak, ini mama”, ia lagi-lagi memelukku
Hatiku hangat. Air matanya yang jatuh dipipiku seperti embun yang sering aku rasakan di mimpi. Aku akhirnya bertemu dengannya Allah. Ibuku. Aku sudah siap pergi sekarang, Allah.
Kerikil ini takkan pernah ada artinya
Karena menatap wajahmu adalah segalanya
Karena bertemu denganmu aku akan hidup
Walaupun tak bersama lagi
Tuhan tak pernah tidur, ibu
Katakan padanya apa yang ingin kau katakan
Adukan padanya jika aku menyakitimu
Tapi yakinlah ibu, kita akan bertemu di tempat yang lebih indah dari ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban di Pasar Senen